Saturday, February 24, 2007

KANGEN...

Uuh…sebel deh…pagi-pagi sudah diceramahi. Jangan lupa minum vitamin. Jangan terlambat makan siang. Jangan malas latihan bowling. Jangan berlari kalau menyeberang jalan. Jangan jajan sembarangan. Jangan pipis di celana…eits yang terakhir tentunya tambahanku saja. Habisnya sebel berat deh. Memangnya dia itu siapa, seenak udelnya ceramahi aku, jangan ini jangan itu. Pagi-pagi pula. Iya sih, sudah hampir setahun dia jadi pacarku. Tapi kan cuma pacar. Mamaku saja tidak secerewet ini.

Kupandangi handphone biru mudaku, handphone kesayanganku (iya lah, cuma satu-satunya yang kumiliki kok) dengan sedikit cemberut. Sekitar 5 menit yang lalu, dari benda itulah terdengar ceramah yang menyebalkan itu. Kebiasaan Faris sejak dia menjadi pacarku. Sebelum jam 8 pagi yang berarti sebelum aku masuk kuliah, dia dengan rajinnya menghubungi aku melalui handphone biru mudaku ini untuk mengingatkan banyak hal yang menurutnya menjadi kebiasaan jelekku. Awalnya aku senang sekali mendengar suara beratnya menceramahi aku. Rasanya seperti seorang puteri cantik sedang diperhatikan oleh pangeran ganteng dari kerajaan tetangga. Tapi sejak dua minggu yang lalu, entah kenapa kebiasaan Faris ini selalu membuat aku uring-uringan, terasa begitu menjengkelkan.

“Pagi Sarah,” sapaan riang mengagetkan aku. Dan lebih mengagetkan lagi ketika tahu siapa empunya suara itu. Wicak, Sang Ketua Himpunan Mahasiswa jurusanku yang baru saja terpilih sekitar sebulan yang lalu. Sebelum menjadi Ketua Himpunan Mahasiswapun, Wicak memang ganteng dengan perawakan proporsional dan kemampuan akademik serta berorganisasi yang tidak diragukan lagi. Orangnya ramah, dan katanya (aku belum pernah berinteraksi dengannya dalam dua hal terakhir ini) senang membantu orang lain, serta enak diajak ngobrol. Belum lagi tongkrongannya yang setia selalu menemani kemanapun dia pergi, Grand Vitara hitamnya yang gagah. Itu semua membuatnya menjadi idola banyak gadis di tempat kuliahku ini. Apalagi setelah dia menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa, aku percaya semakin banyak gadis yang mengidolakannya. Dan sejak dua minggu yang lalu, aku menyadari bahwa aku termasuk dari jajaran gadis-gadis tersebut.

“Oh..eh..Pagi juga,”kataku balas menyapa dengan agak gugup. Kulihat Wicak tersenyum yang menurutku manis sekali membuat jantung ini tiba-tiba berdebar-debar tidak karuan. Hey, ada apakah ini?

“Sedang tidak enak badan ya? Pagi-pagi kok kelihatan tidak bersemangat,”kata Wicak. Kemudian aku menjadi salah tingkah karena Wicak memperhatikan wajahku lekat-lekat seolah ingin meyakinkan pendapatnya benar.

“Ah, enggak juga. Lagi malas saja, kuliah yang ini dosennya membosankan,”kataku asal menjawab. Untuk menenangkan diri dari debaran jantung dan salah tingkah, handphone biru mudaku kupindahkan berkali-kali dari tangan kanan ke tangan kiri dan sebaliknya.

“Kalau aku duduk di sebelah kamu pas kuliah ini, kira-kira masih membosankan enggak ya…?”Wicak bertanya seolah pada dirinya sendiri. Wow, selama satu jam empat puluh menit duduk bersebelahan dengan laki-laki yang sekarang sedang menjadi idolaku? Bosan jelas tidak, tapi bisa-bisa selama kuliah aku terduduk kaku seperti robot dengan tangan berkeringat karena nervous. Atau pantatku bergerak-gerak terus seperti duduk di atas bara api karena gelisah. Atau bahkan pingsan karena tidak mampu menjaga debaran jantung yang semakin hebat. Ah, yang terakhir itu cuma khayalanku saja kok. Percaya deh, aku masih kuat untuk mempertahankan diri duduk bersebelahan dengan dia. Mudah-mudahan.

Sementara aku membayangkan apa yang akan terjadi selama duduk bersebelahan dengan Wicak, beberapa kawan kuliah yang lewat menyapa Wicak dengan ramah. Belum lagi sapaan gadis-gadis yang aku percaya sebagian besar mengidolakannya, membuat aku memiliki waktu untuk melanjutkan lamunanku itu. Tak terperhatikan cara kebanyakan gadis-gadis menyapa Wicak dengan keramahan yang berlebihan terkesan dibuat-buat mendekati genit.

“Boleh…?”Pertanyaan Wicak membuyarkan lamunanku, sekarang pertanyaan ini ditujukan langsung kepadaku. Aku mengangguk agak tersipu. Siapa pula yang berniat untuk menolak rejeki nomplok di pagi hari ini. “Kalau begitu, yuk kita cari tempat duduknya.”

Aku menurut dan mengikutinya masuk ruang kuliah untuk mencari tempat duduk. Beberapa gadis yang tadi menyapa Wicak dan sempat kami lewati, tampak menatapku dengan pandangan menyelidik. Ketika aku menatap balas mereka dengan sedikit menyunggingkan senyum, beberapa dari mereka membalas senyumanku tapi terkesan terpaksa dan beberapa lagi langsung mengalihkan pandangannya tanpa membalas senyumanku. Sementara beberapa lagi masih melirikku secara sembunyi-sembunyi. Aku sendiri berusaha berjalan sewajar mungkin, padahal perasaanku tidak karuan antara senang, takut, bingung, malu, dan sebagainya bercampur aduk. Ketika sampai di kursi pilihan Wicak, seseorang menyapa, suara seorang gadis,”Wicak, ngapain duduk di situ. Di sini saja yuk, di sebelahku.”

Kutatap gadis itu yang menatapku dengan pandangan sebal. Yey, bisanya ngiri. Spontan aku berkomentar, dalam hati tentunya. Mana bisa mulutku berkata-kata sekarang ini sementara perasaanku sedang campur aduk begini. Kulihat Wicak hanya tersenyum menanggapi ajakan tersebut dan berkata kepadaku,”sst..kok masih berdiri, duduk deh.”

Baru kusadar kalau aku masih berdiri memandang gadis itu dan Wicak bergantian. Dan baru kusadar tempat duduk pilihan Wicak ternyata di jejeran paling depan agak di sebelah kanan. Aku memandang Wicak protes,”Kok, depan amat duduknya.”

“Supaya bisa konsentrasi pada saat kuliah nanti. Kalau duduk di belakang dan bersebelahan dengan kamu pula, mana mungkin sanggup berkonsentrasi,” ada nuansa menggoda dalam perkataan Wicak kali ini, membuat wajahku terasa memanas. Wah, aku jadi tengsin nih, wajahku pasti merah karenanya. Sialan.

Aku duduk dengan masih belum yakin akan merasa nyaman selama kuliah berlangsung. Tapi ternyata keterlambatan dosen selama 20 menit menghapuskan keraguanku. Selama 20 menit itu, perkataan orang tentang seorang Wicak yang enak diajak ngobrol terbukti. Sehingga lama-kelamaan, aku bisa melupakan nervousku, melupakan gelisahku, melupakan debaran jantungku, melupakan Farisku (Oops, bahaya nih, tapi biar saja aku kan lagi sebel sama dia sekarang ini), dan melupakan kalau Wicak juga sudah punya pacar. Ya betul, memang Wicak sudah punya pacar. Siapa sih yang tak tahu kalau Nadia, mahasiswi cantik yang kuliah di kampus tetangga, adalah pacar Wicak yang konon sudah dipacari sejak tiga tahun lalu. Wow, hebatnya bisa berpacaran selama itu. Tapi mungkin karena sudah terlalu lama, mereka bosan. Karena dengar punya dengar, hubungan mereka sedang berada di ambang kehancuran. Ceilah, kayak berita selebriti saja yang isinya memberitakan kehancuran rumah tangga.

Sesaat aku jadi teringat. Beberapa hari yang lalu, aku berpapasan dengan Nadia ketika sedang berjalan melewati kampus tetangga. Pacar Wicak yang cantik itu terlihat murung dan tidak bahagia. Dan hey… aku merasa melihat bekas biru di pipi kirinya. Ah, tapi mungkin hanya perasaanku saja karena wajah Nadia terlihat begitu kuyu saat itu. Mmm… mungkin dia sedang tidak enak badan kebanyakan begadang tadi malam karena mengerjakan tugas-tugas mahasiswa yang bejibun itu. Menurut kabar, Nadia termasuk mahasiswa teladan di kampusnya. What a perfect girl. Sudah cantik, pintar, punya cowok oke pula. Kok, kesannya jadi kayak yang iri ya…he…he…

“Sarah, hobby kamu apa sih?” Tanya Wicak sambil mencari-cari sesuatu di dalam tas ranselnya.

“Apa ya? Banyak sih. Baca novel, denger musik…,”jawabku.

Dan kamu? Inginnya segera aku bertanya seperti itu padanya. Tapi dia sudah memotong perkataanku,”bowling?”

“O, iya. Suka banget,”kataku, sambil berdoa semoga dia juga suka bowling dan mengajakku sekali-sekali bermain bersama. Aduh… makin gawat aja nih lama-lama berdekatan dengan Wicak. Ingat Faris, Sarah… Ingat Faris…

“Denger-denger sudah jago ya.”

“Ah, enggak juga. Masih belajar kok,”aku merendah. Bukan sombong, padahal aku termasuk salah satu kandidat pebowling yang diajukan untuk mewakili daerah di Kejuaraan Nasional dua bulan mendatang. Ini gara-gara sejak usia 8 tahun sudah diperkenalkan olahraga ini oleh Papa dan Mama yang maniak bowling. Dan memang keduanya sampai sekarang masih sering mengikuti kejuaraan, walau hanya sebatas tingkat daerah. Tapi prestasinya cukup dibanggakan kok.

“Boleh dong sekali-sekali diajari main bowling,”pinta Wicak.

Alamak, ternyata do’aku terkabul. Dengan cepat kujawab,”boleh…boleh…”

“Heh, ngobrol mulu! Tuh dosennya udah dateng!”Tegur seseorang dari belakang kami. Serentak kami melihat ke arah pintu, dan benar Sang Dosen sudah berjalan melewatinya menuju meja dosen di sebelah kanan kelas.

“Ssst, Sarah. Nomor HPmu berapa? Nanti aku kontak kalau mau bowling ya,”bisik Wicak agak mengagetkanku. Seolah dihipnotis aku menyebutkan nomor HPku sementara Wicak memasukkannya ke dalam memory HPnya. Dan selama kuliah berlangsung, konsentrasiku agak terganggu karena memikirkan bermain bowling dengannya. Sementara Faris benar-benar menghilang dari pikiran…

(bersambung...)

2 comments:

Anonymous said...

Oks....banget cerbernya. Lanjutin ya......

Dadan Gumbira Pramudia said...

Great... bikin buku dong...