Tuesday, May 08, 2007

Akhirnya

Akhirnya rasa itu pergi juga
Tak terlihat bahkan jejaknya
Yang dulu membuat ku tersiksa
Dalam ketakberdayaan tuk merengkuhnya
Bahkan tuk mendekatinya

Akhirnya langkah itu ringan juga
Melenggang dengan semangat dan asa
Menuju sesuatu yang lebih nyata
Tanpa tarikan yang membuatnya tersendat
Tanpa beban yang membuatnya berat

Akhirnya kumampu melepas semua lara
Yang dulu begitu setia
Mengiringi langkah dan jiwa
Membuatku berucap dengan mantap
Selamat datang kehidupan baru
Kan kutempuh tanpa ragu

Bandung, 11 Januari 2007

Monday, March 19, 2007

Puisiku, Rekaanku...



Sebuah Tanya dalam Tatapan

Manakala tertatap mata itu
Kuragu akan rasa yakinku
Merasakan tatap balas bak pisau terasah
Memekarkan rasa ciutku
Apakah sedemikian mengagumi
Ataukah penuh dengan benci
Hingga kupalingkan tatapku
Tak jua kutahu
Walau sekilas senyuman
Serasa membias di kedalamannya

Bandung, 10 Januari 2007
Setelah mereka-reka suatu peristiwa
Entah ada atau tidak
Tapi membuatku ingin menuliskannya



Sebuah Jawab dalam Tatapan

Andai dia tahu dan mengerti mauku
Tak perlu ku slalu menancapkan tatapan pisauku
Andai dia juga berkeinginan seperti diriku
Tak perlu ku slalu memendam beribu rindu
Kuingin tak sekedar tatapanku
Menancap ke dalam lautan penuh kasih itu
Segenap jiwa ragaku penuh hasrat berenang di dalamnya
Tak sekedar kagum bahkan benci itu pun ada
Kagum untuknya, benci untukku
Kagum karena dia begitu sempurna untukku
Benci karena ku tak mampu mengenyahkan mau itu
Benci karena ku tahu
Tak ada lagi kesempatan itu
Benci karena ku tahu
Jiwa dan raganya telah berenang di kedalaman lautan yang lain
Bukan lautanku
Bukan diriku

Bandung, 10 Januari 2007
Setelah mereka-reka suatu peristiwa
Entah ada atau tidak
Tapi membuatku ingin menuliskannya



Tatap Itu Lagi

Hanya tatap tanpa kata
Menerpa pikiran tanpa rasa
Namun tersentak jua ketenangan di dada
Saat tatap itu masih melekat
Semakin erat
Membuat napas ini sejenak tercekat
Entah apa yang menahannya
Sekian lama setia seolah terpana
Apakah aku yang terlalu merasa
Ataukah memang tatap itu yang nyata
Tak ingin kutahu jawabnya
Kan kunikmati saja apa yang ada
Dalam diam dan sunyinya dunia

Bandung, 13 Januari 2007
Mungkin hanya ilusi
Namun membuat jari jemari ini lancar menari
Merangkai koreografi tanpa terlibatnya hati


Betah

Entah apa yang menahanku di sana
Sekian lama dalam diam semata
Kucoba mengusir rasa salah tingkah
Dengan membaca sebuah berita
Ketika sekilas tatapnya memandangku seolah bertanya
“Ada apakah gerangan engkau masih di sana?”

Kutahu tak ada hal lagi yang perlu kulakukan
Kuhanya tak mengerti
Mengapa kaki ini begitu berat tuk tinggalkan
Ruang penuh tumpukan kertas dan kesibukan manusia
Namun bagiku serasa sejuk dan indah menyenangkan
Hanya karena kehadiran sosok rampingnya di hadapan

Bandung, 2 Februari 2007
Seperti biasa mereka-reka peristiwa
Yang entah ada atau tidak…

Saturday, February 24, 2007

KANGEN...

Uuh…sebel deh…pagi-pagi sudah diceramahi. Jangan lupa minum vitamin. Jangan terlambat makan siang. Jangan malas latihan bowling. Jangan berlari kalau menyeberang jalan. Jangan jajan sembarangan. Jangan pipis di celana…eits yang terakhir tentunya tambahanku saja. Habisnya sebel berat deh. Memangnya dia itu siapa, seenak udelnya ceramahi aku, jangan ini jangan itu. Pagi-pagi pula. Iya sih, sudah hampir setahun dia jadi pacarku. Tapi kan cuma pacar. Mamaku saja tidak secerewet ini.

Kupandangi handphone biru mudaku, handphone kesayanganku (iya lah, cuma satu-satunya yang kumiliki kok) dengan sedikit cemberut. Sekitar 5 menit yang lalu, dari benda itulah terdengar ceramah yang menyebalkan itu. Kebiasaan Faris sejak dia menjadi pacarku. Sebelum jam 8 pagi yang berarti sebelum aku masuk kuliah, dia dengan rajinnya menghubungi aku melalui handphone biru mudaku ini untuk mengingatkan banyak hal yang menurutnya menjadi kebiasaan jelekku. Awalnya aku senang sekali mendengar suara beratnya menceramahi aku. Rasanya seperti seorang puteri cantik sedang diperhatikan oleh pangeran ganteng dari kerajaan tetangga. Tapi sejak dua minggu yang lalu, entah kenapa kebiasaan Faris ini selalu membuat aku uring-uringan, terasa begitu menjengkelkan.

“Pagi Sarah,” sapaan riang mengagetkan aku. Dan lebih mengagetkan lagi ketika tahu siapa empunya suara itu. Wicak, Sang Ketua Himpunan Mahasiswa jurusanku yang baru saja terpilih sekitar sebulan yang lalu. Sebelum menjadi Ketua Himpunan Mahasiswapun, Wicak memang ganteng dengan perawakan proporsional dan kemampuan akademik serta berorganisasi yang tidak diragukan lagi. Orangnya ramah, dan katanya (aku belum pernah berinteraksi dengannya dalam dua hal terakhir ini) senang membantu orang lain, serta enak diajak ngobrol. Belum lagi tongkrongannya yang setia selalu menemani kemanapun dia pergi, Grand Vitara hitamnya yang gagah. Itu semua membuatnya menjadi idola banyak gadis di tempat kuliahku ini. Apalagi setelah dia menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa, aku percaya semakin banyak gadis yang mengidolakannya. Dan sejak dua minggu yang lalu, aku menyadari bahwa aku termasuk dari jajaran gadis-gadis tersebut.

“Oh..eh..Pagi juga,”kataku balas menyapa dengan agak gugup. Kulihat Wicak tersenyum yang menurutku manis sekali membuat jantung ini tiba-tiba berdebar-debar tidak karuan. Hey, ada apakah ini?

“Sedang tidak enak badan ya? Pagi-pagi kok kelihatan tidak bersemangat,”kata Wicak. Kemudian aku menjadi salah tingkah karena Wicak memperhatikan wajahku lekat-lekat seolah ingin meyakinkan pendapatnya benar.

“Ah, enggak juga. Lagi malas saja, kuliah yang ini dosennya membosankan,”kataku asal menjawab. Untuk menenangkan diri dari debaran jantung dan salah tingkah, handphone biru mudaku kupindahkan berkali-kali dari tangan kanan ke tangan kiri dan sebaliknya.

“Kalau aku duduk di sebelah kamu pas kuliah ini, kira-kira masih membosankan enggak ya…?”Wicak bertanya seolah pada dirinya sendiri. Wow, selama satu jam empat puluh menit duduk bersebelahan dengan laki-laki yang sekarang sedang menjadi idolaku? Bosan jelas tidak, tapi bisa-bisa selama kuliah aku terduduk kaku seperti robot dengan tangan berkeringat karena nervous. Atau pantatku bergerak-gerak terus seperti duduk di atas bara api karena gelisah. Atau bahkan pingsan karena tidak mampu menjaga debaran jantung yang semakin hebat. Ah, yang terakhir itu cuma khayalanku saja kok. Percaya deh, aku masih kuat untuk mempertahankan diri duduk bersebelahan dengan dia. Mudah-mudahan.

Sementara aku membayangkan apa yang akan terjadi selama duduk bersebelahan dengan Wicak, beberapa kawan kuliah yang lewat menyapa Wicak dengan ramah. Belum lagi sapaan gadis-gadis yang aku percaya sebagian besar mengidolakannya, membuat aku memiliki waktu untuk melanjutkan lamunanku itu. Tak terperhatikan cara kebanyakan gadis-gadis menyapa Wicak dengan keramahan yang berlebihan terkesan dibuat-buat mendekati genit.

“Boleh…?”Pertanyaan Wicak membuyarkan lamunanku, sekarang pertanyaan ini ditujukan langsung kepadaku. Aku mengangguk agak tersipu. Siapa pula yang berniat untuk menolak rejeki nomplok di pagi hari ini. “Kalau begitu, yuk kita cari tempat duduknya.”

Aku menurut dan mengikutinya masuk ruang kuliah untuk mencari tempat duduk. Beberapa gadis yang tadi menyapa Wicak dan sempat kami lewati, tampak menatapku dengan pandangan menyelidik. Ketika aku menatap balas mereka dengan sedikit menyunggingkan senyum, beberapa dari mereka membalas senyumanku tapi terkesan terpaksa dan beberapa lagi langsung mengalihkan pandangannya tanpa membalas senyumanku. Sementara beberapa lagi masih melirikku secara sembunyi-sembunyi. Aku sendiri berusaha berjalan sewajar mungkin, padahal perasaanku tidak karuan antara senang, takut, bingung, malu, dan sebagainya bercampur aduk. Ketika sampai di kursi pilihan Wicak, seseorang menyapa, suara seorang gadis,”Wicak, ngapain duduk di situ. Di sini saja yuk, di sebelahku.”

Kutatap gadis itu yang menatapku dengan pandangan sebal. Yey, bisanya ngiri. Spontan aku berkomentar, dalam hati tentunya. Mana bisa mulutku berkata-kata sekarang ini sementara perasaanku sedang campur aduk begini. Kulihat Wicak hanya tersenyum menanggapi ajakan tersebut dan berkata kepadaku,”sst..kok masih berdiri, duduk deh.”

Baru kusadar kalau aku masih berdiri memandang gadis itu dan Wicak bergantian. Dan baru kusadar tempat duduk pilihan Wicak ternyata di jejeran paling depan agak di sebelah kanan. Aku memandang Wicak protes,”Kok, depan amat duduknya.”

“Supaya bisa konsentrasi pada saat kuliah nanti. Kalau duduk di belakang dan bersebelahan dengan kamu pula, mana mungkin sanggup berkonsentrasi,” ada nuansa menggoda dalam perkataan Wicak kali ini, membuat wajahku terasa memanas. Wah, aku jadi tengsin nih, wajahku pasti merah karenanya. Sialan.

Aku duduk dengan masih belum yakin akan merasa nyaman selama kuliah berlangsung. Tapi ternyata keterlambatan dosen selama 20 menit menghapuskan keraguanku. Selama 20 menit itu, perkataan orang tentang seorang Wicak yang enak diajak ngobrol terbukti. Sehingga lama-kelamaan, aku bisa melupakan nervousku, melupakan gelisahku, melupakan debaran jantungku, melupakan Farisku (Oops, bahaya nih, tapi biar saja aku kan lagi sebel sama dia sekarang ini), dan melupakan kalau Wicak juga sudah punya pacar. Ya betul, memang Wicak sudah punya pacar. Siapa sih yang tak tahu kalau Nadia, mahasiswi cantik yang kuliah di kampus tetangga, adalah pacar Wicak yang konon sudah dipacari sejak tiga tahun lalu. Wow, hebatnya bisa berpacaran selama itu. Tapi mungkin karena sudah terlalu lama, mereka bosan. Karena dengar punya dengar, hubungan mereka sedang berada di ambang kehancuran. Ceilah, kayak berita selebriti saja yang isinya memberitakan kehancuran rumah tangga.

Sesaat aku jadi teringat. Beberapa hari yang lalu, aku berpapasan dengan Nadia ketika sedang berjalan melewati kampus tetangga. Pacar Wicak yang cantik itu terlihat murung dan tidak bahagia. Dan hey… aku merasa melihat bekas biru di pipi kirinya. Ah, tapi mungkin hanya perasaanku saja karena wajah Nadia terlihat begitu kuyu saat itu. Mmm… mungkin dia sedang tidak enak badan kebanyakan begadang tadi malam karena mengerjakan tugas-tugas mahasiswa yang bejibun itu. Menurut kabar, Nadia termasuk mahasiswa teladan di kampusnya. What a perfect girl. Sudah cantik, pintar, punya cowok oke pula. Kok, kesannya jadi kayak yang iri ya…he…he…

“Sarah, hobby kamu apa sih?” Tanya Wicak sambil mencari-cari sesuatu di dalam tas ranselnya.

“Apa ya? Banyak sih. Baca novel, denger musik…,”jawabku.

Dan kamu? Inginnya segera aku bertanya seperti itu padanya. Tapi dia sudah memotong perkataanku,”bowling?”

“O, iya. Suka banget,”kataku, sambil berdoa semoga dia juga suka bowling dan mengajakku sekali-sekali bermain bersama. Aduh… makin gawat aja nih lama-lama berdekatan dengan Wicak. Ingat Faris, Sarah… Ingat Faris…

“Denger-denger sudah jago ya.”

“Ah, enggak juga. Masih belajar kok,”aku merendah. Bukan sombong, padahal aku termasuk salah satu kandidat pebowling yang diajukan untuk mewakili daerah di Kejuaraan Nasional dua bulan mendatang. Ini gara-gara sejak usia 8 tahun sudah diperkenalkan olahraga ini oleh Papa dan Mama yang maniak bowling. Dan memang keduanya sampai sekarang masih sering mengikuti kejuaraan, walau hanya sebatas tingkat daerah. Tapi prestasinya cukup dibanggakan kok.

“Boleh dong sekali-sekali diajari main bowling,”pinta Wicak.

Alamak, ternyata do’aku terkabul. Dengan cepat kujawab,”boleh…boleh…”

“Heh, ngobrol mulu! Tuh dosennya udah dateng!”Tegur seseorang dari belakang kami. Serentak kami melihat ke arah pintu, dan benar Sang Dosen sudah berjalan melewatinya menuju meja dosen di sebelah kanan kelas.

“Ssst, Sarah. Nomor HPmu berapa? Nanti aku kontak kalau mau bowling ya,”bisik Wicak agak mengagetkanku. Seolah dihipnotis aku menyebutkan nomor HPku sementara Wicak memasukkannya ke dalam memory HPnya. Dan selama kuliah berlangsung, konsentrasiku agak terganggu karena memikirkan bermain bowling dengannya. Sementara Faris benar-benar menghilang dari pikiran…

(bersambung...)

Sunday, February 04, 2007

Menetapkan Hati

Menunggu
Sesaat sebelum melaju
Bergeliat rasa seakan masih meragu
Tanpa pernah tahu apa yang akan berlaku
Tak ingin rasa itu terus mengganggu
Kuhempas
Kubuang
Kulontar
Tak perlu terlalu jauh
Hanya melalui tarian gemulai sang jari
Melukiskan derap kata ini
Dan ragu itu pun mereda
Menyelipkan seberkas keyakinan
Yang membantu ringannya langkah
Menuju hari yang tak pernah berhenti

Jakarta, 5 Januari 2007

Tuesday, January 30, 2007

Malu

Saat terpandang wajah lelah menatap harap dari balik kaca
Teriris hati memikirkan banyak kesusahan yang menimpanya
Kucoba membayangkan ketegarannya menghadapi gelengan demi gelengan manusia
Yang terduduk nikmat dalam hembusan pendingin kendaraan mewahnya
Namun sejumput senyum masih sempat terlukis dari bibir hitamnya
Keletihan hanya diredakan oleh sekaan tangan sekilas untuk menyapu keringat di dahinya
Betapa malu hati ini, Tuhan
Seharusnya kubersyukur lebih banyak kepada-Mu
Atas semua berkah dan kasih sayang-Mu
Karena mungkin kesusahan yang kualami hanya seujung kuku dari yang dialaminya

Bandung, 20 Desember 2005, 11:08

Saturday, January 20, 2007

Sentuhan Sekelebat Kenangan

Kenapa masih saja bayang itu menyelinap dalam rasaku
Walau hanya dalam hitungan detik yang langka
Kadang ku tak peduli dan mengabaikan kehadirannya
Kadang ku terganggu walau hanya sekelebat masa lalu
Apakah kuharus membuangnya jauh dari jangkauan pikirku
Ataukah kubiarkan menjadi bagian dari kenangan yang tak utuh
Yang tenggelam dan muncul tak beraturan membelai perasaanku
Dan jawabnya masih menggantung di luar gapaian inginku

Bandung, 2 Januari 2006

Saturday, January 13, 2007

Jangan Berubah

Suara ceriamu
Begitu merdu menyelinap di hati
Nyanyian riangmu
Demikian indah merasuk sukma
Cerita bahagiamu
Sungguh syahdu merambah kalbu
Wajah yang lugu
Senyum yang manis
Tingkah laku yang lucu
Tiada kepalsuan yang tersembunyi
Menemani setiap harimu

Tolong, jangan berubah
Kuingin kau tetap begitu, anakku
Karena semua itu
Membuat semangatku kembali utuh

Bandung, 7 Desember 2006
Teringat menyingkirnya mendung di hati
Kala si lucu pulang sekolah…